Kamis, 31 Januari 2013

KEUTAMAAN SHOLAT BERJAMA’AH


A.    Takhrij :

صحيح البخارى
حدثنا عبدالله ابن يوسف قال اخبرنا مالك عن نافع عن عبدالله بن عمر: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: صلاة الجماعة تفضل صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة.
صحيح المسلم
حدثنا يحي بن يحي قال قرأت على مالك عن نافع عن ابن عمر أن رسول صلى الله عليه وسلم قال: صلاة الجماعة أفضل من صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة.
سنن النسائ
أخبرنا قتيبة عن مالك عن نافع عن ابن عمرأن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: صلاة الجماعة تفضل على صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة.
مسند أحمد بن حنبل
قرأت على عبدالرحمن، مالك، عن نافع عن عبدالله ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: صلاة الجماعة تفضل على صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة.
الموطأ مالك
حدثنا يحي عن مالك عن نافع عن عبدالله ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: صلاة الجماعة تفضل صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة.




B.   Terjemahan :

حدثنا عبدالله ابن يوسف قال اخبرنا مالك عن نافع عن عبدالله بن عمر: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: صلاة الجماعة تفضل صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة.

Menceritakan kepada kami Abdullah Bin Yusuf berkata mengabarkan kepada kami Malik dari Nafi’ dari  Abdullah Bin Umar, sesungguhnya Rasulullah Saw berkata: “ Shalat Berjama’ah Lebih Utama Shalat Sendiri sebanyak 27 derajat”. ( H.R Bukhari)

حدثنا يحي بن يحي قال قرأت على مالك عن نافع عن ابن عمر أن رسول صلى الله عليه وسلم قال: صلاة الجماعة أفضل من صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة.
Menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya berkata  saya membaca atas Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar sesungguhnya Rasulullah Saw Berkata: “shalat berjama’ah lebih utama dari pada shalat sendiri sebanyak 27 derajat”. ( H.R Muslim).

أخبرنا قتيبة عن مالك عن نافع عن ابن عمرأن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: صلاة الجماعة تفضل على صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة.
Mengabarkan kepada kami Qutaibah dari Malik dari Nafi’ dari Ibn Umar sesungguhnya Rasulullah Saw berkata: “ shalat berjama’ah lebih utama diatas shalat sendiri sebanyak 27 derajat”. ( H.R An-Nasa’i)



قرأت على عبدالرحمن، مالك، عن نافع عن عبدالله ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: صلاة الجماعة تفضل على صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة.
Saya membaca dari Abd Rahman, Malik dari Nafi’ dari Abdullah Ibn Umar sesungguhnya Rasulullah Saw berkata: “shalat berjama’ah lebih utama diatas shalat sendiri sebanyak 27 derajat”. ( H.R Ahmad Bin Hanbal)

حدثنا يحي عن مالك عن نافع عن عبدالله ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: صلاة الجماعة تفضل صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة.
Menceritakan kepada kami Yahya dari Malik dari Nafi’ dari Abdullah Ibn Umar sesungguhnya Rasulullah Saw Berkata: “shalat berjama’ah lebih utama shalat sendiri sebanyak 27 derajat”. ( H.R Malik)










C.   I’tibar :

نبي
 


مالك
مسند احمد
مسلم
سنن النسئ
بخري
موطأ مالك
عبد الرحمن
يحي
قتيبة
يحي بن يحي
عبد الله بن يوسف
عبد الله ابن عمر
نافع
 














D.   Kritik Sanad :
Hadits yang terkait dengan masalah tersebut terdapat 5 riwayat dari 5 mukharrij, yaitu: Bukhari,Muslim,An-Nasa’I,Malik, dan Ahmad bin Hanbal. Pada gambar tersebut tercantum jalur-alur seluruh sanad Nama-nama periwayat.yang menghubungkan antara periwayat yang satu dengan periwayat lain yang terdekat atau metode periwayatan yang di gunakan oleh masing-masing periwayat. Dalam pada itu, tampak hanya ada seorang sahabat yang berfungsi sebagai periwayat tingkat pertama hadits tersebut, Abdullah Ibnu Umar pada tingkat kedua terdapat satu orang periwayat yaitu, Nafi’. Pada tingkat ketiga juga terdapat satu orang periwayat yaitu, Malik. Pada tingkat keempat barulah berbilang, itu berarti bahwa dalam hadits yang di teliti tidak di temukan periwayat yang berstatus pendukung.
Lambang periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat dalam beberapa sanad tersebut meliputi haddasana, akhbarana, qara’tu, ‘an, anna dan qalat.
Biografi Periwayat
1. Abdullah ibn Umar nama lengkapnya Abdullah bin Umar bin al-khattab bin Nufayl al-Quraysi al-Adawy, Abu Abdurrahman Makkiy (10 S.H – 73 H ). Ibn Umar, Selain banyak meriwayatkan hadis dari Nabi secara langsung, dia juga menerima hadis dari al-Khaulafa’ al-Rasyidun dan Hafsah (saudaranya). Riwayat Ibn Umar diterima oleh muridnya antara lain Sa’id bin al-musayyab, putra-putranya, yakni Bilal, Hamzah, Zayd, dan Salim serta Nafi’.
Pernyataan Rasulullah, Sahabat, dan para ahli rijal al-hadits tentang Ibn Umar:
1.     Hafsah (w. 45 H): rasulullah saw bersabda “Abd. Allah adalah seorang yang shalih”.
2.     Abd. Allah bin Mas’ud (w. 32 H): diantara pemuda Quraisy yang tekun memelihara diri dari masalah keduniaan adalah Abd. Allah bin Umar.
3.     Jabir bin Abd. Allah: Ibn Umar adalah satu-satunya diantara kami yang tidak terlena dengan kemewahan, sekalipun hal itu sangat memungkinkan bagi dirinya.
4.     Al-Zuhriy (50-124 H): Tidak ada seorang pun yang berpikiran cemerlang melebihi Ibn Umar. Dia tidak pernah lalai dari perintah Rasulullah saw dan sahabatnya.
5.     Ibn Sa’ad dari al-Sya’biy: Ibn Umar lebih ahli di bidang hadis dari pada di bidang fiqih
Pada saat masih usia belia Ibn Umar bersama ayahnya, Umar bin al-Khattab memeluk Islam. Juga bersama ayahnya berhijrah ke Madinah. Ibn Umar dikenal sebagai salah seorang sahabat Nabi yang sangat patuh dalam menjalankan sunnah Nabi. Dia selalu mengikuti hal-hal yang dilakukan oleh Nabi baik masalah-masalah kecil maupun besar.
Dalam periwayatan Nabi, hadits Ibn Umar termasuk dari kelompok al-muksirun fii al-hadits. Dia menempati peringkat kedua setelah Abu Hurayrah.
Tidak seorang pun yang menjarh  (mencela) Abd. Allah bin Umar. Melihat hubungan pribadinya dengan Nabi yang akrab dan dedikasinya yang tinggi dalam membela Islam sebagai agama yang diyakininya sejak kecil, maka Ibn Umar adalah sahabat Nabi yang tidak diragukan kejujuran dan keshahihannya dalam menyampaikan hadits Nabi. Tidak terkecuali hadits yang diteliti ini diterima oleh Ibn Umar dari Nabi. Itu berarti bahwa antara Nabi Muhammad saw dan Abd. Allah bin Umar telah terjadi persambungan periwayatan hadits.
2. Nafi’ nama lengkapnya, Nafi’ al-faqih, Maula ibn Umar bin al-Khattab al-Quraisyiy al-Adawiy, Abu Abd. Allah al-Madaniy (w. 177 H).  dia adalah murid dari Ibn Umar (Maulahu; majikannya) dan guru dari Malik bin an-Nas.
Para kritikus hadits seperti Ibn Sa’ad, al-Ijliy dan an-Nasa’iy menilai Nafi’ bersifat tsiqat. Malik menyatakan bahwa jika saya telah mendengar dari Nafi’ melalui jalur Ibn Umar, maka saya tidak berusaha (lagi) untuk mendengar dari yang lainnya. Al-Bukhari menegaskan bahwa asahh al-asanid adalah Malik dri Nafi’ yang bersumber dari Ibn Umar.
Tidak ada seorang kritikus pun yang melontarkan celaan terhadap pribadi Nafi’. Itu berimplikasi bahwa dia termasuk periwayat hadits yang disepakati ke tsiqahannya. Meski pun lambang periwayatan yang digunakannya adalah huruf ‘an (hadits mu’an‘an), tetapi karena yang bersangkutan adalah seorang tsiqot tanpa syarat, maka pernyataan Nafi’ yang mengatakan bahwa dia menerima hadits tersebut dari Ibn Umar, tidak diragukan kebenarannya. Dengan begitu, sanad antara Nafi’ dan Ibn Umar bersambung.
3. Malik. Nama lengkapnya, Malik bin An-Nas bin Malik bin Amir bin Abi Amir bin al-Harits bin Usman bin Khusayl bin Amr bin al-Harits al-Ashabiy al-Himyariy Abu Abd. Allah al-Madaniy (92-179 H).
Guru MAlik termasuk banyak , antara lain al-Zuhriy , Hisyam Bin Urwah, Nafi’Maula Ibnu Umar,dan Yazid Bin Abdullah Al-Had. Muridnya juga banyak, antara lain Abu Mus’ab Al-Zuhriy, Abdullah Bin Wahab, Yahya Bin Yahya An-Naisaburiy, Yahya Bin Yahya Al-Andalusiy, dan Al-Qa’nabiy.
Malik adalah periwayat sekaligus Mukhorrij al-hadis yang diandalkan keadilan dan kedhabitannya. Terbukti dari pernyataan para ahli kritik hadis tentang dirinya :
1.     Al-Syafi’iy : Malik adalah hujjat Allah pasca masa tabi’in.
2.     Ibn Ma’in : Malik itu Tsiqat.
3.     An-Nasa’iy menurut saya, tidak ada orang pintar pasca masa tabi’in melebihi Malik.
4.     Ibn Hibban : Malik itu orang yang paling pertama berhati-hati terhadap para periwayat hadis di Madinah. Dia meninggalkan hadis kecuali yang diriwayatkan oleh yang tsiqat dan tidak meriwayatkan kecuali hadis shahih. Dia pulalah yang menempa Al-Syafi’i.
5.     Ibnu Mahdiy : Saya tidak melihat orang yang sempurna akalnya, melebihi Malik.
6.     Abu Hanifah (w.150 H) : Saya tidak melihat orang yang lebih tahu sunnah Rasulullah SAW dari pada Malik.
Dari informasi tersebut menunjukkan bahwa Malik Bin Anas adalah profil ulama yang disenangi oleh berbagai pihak.Pujian yang diberikan oleh para kritikius hadis kepadanya membuktikan bahwa Malik memiliki integritas pribadi dan kapasitas intelektul                   ( Kesiqatan ) yang tinggi. Dengan demikian, pernyataanya yang mengatakan bahwa dia telah menerima riwayat hadis di atas dari Nafi’ dengan lambang ‘an dapat dipercaya. Itu berartibahwa sanad antara Malik dan Nafi’ benar-benar bersambung.

4. Abdullah Bin Yusuf  Kalangan tabi’ul atba’ kalangan tua. Kuniyah abu Muhammad. Negeri hidup maru. W. 218 H. komentar ulama terhadap rawi: Asz-Sahabi: Hafidz. Al-‘Ajli: tsiqoh. Ibnu Hajar: tsiqah. Ibnu Hibban: disebutkan dalam at-tsiqat.
5.     Qutaybah Bin Sa’id. Nama lengkapnya adalah Qutaybah Bin Sa’id Bin Jamil Bin Tarif  Bin Abdullah AL-Saqafiy,Maulahum Abu Raja’ Al-Balkhiy Al-Baglaniy (148-240 H). dia menerima hadits dari al-Lays bin Sa’ad dan Abd. Wahid, sedangkan murid yang meriwayatkan haditsnya antara lain al-jama’at, Ahmad Ibn Hambal dan Abu Hatim.
Ibn Ma’in, Abu Hatim al-Nasa’iy, dan Ibn Hibban menta’dilkan Qutaybah dengan predikat siqat. Al-Hakim dan Maslamah bin Qasim menayatkan bahwa dia adalah orang khurasan yang siqat ma’mun. Ibn al-Qattan al-fasiy menegaskan bahwa Qutaybah tidak dikenal melakukan tadlis.
6.     Abd. Bin Umar. Kalangan sahabat. Kuniyah: Abu abd. Rahman. Negeri hidup: madinah. Wafat 73 H.  komentar Ulama: adz-Zahabi: sahabat. Ibn Hajar al askalani: Sahabat.
7.     Yahya bin Yahya. Kalangan tabi’ul atba’ kalangan tua. Kuniyah: Abu Zakariya. Negeri hidup: Himsh. Wafat 226 H.  komentar Ulama: adz-Zahabi: tsabat. Ahmad bin Hambal: Tsiqah. An-Nasai: tsiqah tsabat. Ibn Hajar al askalani: tsiqah tsabat. Ibnu Hibban: disebutkan dalam ats tsiqat.
8.     Abd. Rahman.  Kalangan tabi’ut tabi’in kalangan biasa. Kuniyah abu SAid. Negeri hidup Basra. W. 198 H. komentar ulama terhadap rawi: Abu HAtim: tsiqah Imam adz-zahabi: Hafidz. Ahmad bin Hambal: hafidz. Ibnu Hajar al askalani: tsiqah tsabat hafiz. Ibnu Hibban: disebutkan dalam at-tsiqat. Ibn Sa’d: Tsiqah. Ibnul madini: a’almun naas.
Tidak ditemukan kritikus hadits yang memberi penilaian negatif terhadap Qutaybah. Dengan begitu, kualitas pribadi dan kapasitas intelektualnya tidak diragukan lagi. Jadi, pernyataan Qutaybah bahwa dia menerima hadits di atas dari al-Lays dengan lambang sana, dipercaya sekaligus diyakini bahwa sanad antara keduanya bersambung.

E.   Kritik Matan
Mencermati susunan matan hadits tersebut, tampak dari 8 riwayat yang ada ditemukan dua perbedaan lafal, tetapi perbedaan itu tidak menonjol. Yakni ada riwayat, bahkan itulah yang terbanyak menyebutkan lafal الى pada pertengahan matan, dan ada riwayat yang menyebutkan  من pada pertengahan matan. Dalam hal pertama dan kedua, walaupun terdapat perbedaan lafal, namun maknanya searah. Oleh karena ziyadat tersebut berasal dari periwayat yang siqat dan isinya tidak bertentangan dengan yang dikemukakan oleh banyak periwayat yang siqat juga, maka penulis bersikap menerimanya.

F.    Asbabul Wurud
Diriwayatkan dalam “Al-Kabir” dari Mahjan bin Al Adra’ bahwa ia telah berkata : “ Setelah aku selesai melakukan shalat Zhuhur atau AShar di rumahku, aku mendatangi Rasulullah dan aku duduk disisinya. Tidak lama, terdengarlah iqamat shalat maka Rasulullah pun shalat dan aku tidak. Setelah selesai, beliau bertanya: apakah kau Muslim?”. Jawabku: “Ya”. Ujar beliau: “Mengagpa tidak shalat?” kataku: “Sudah”. Kemudian Rasulullah bersabda seperti bunyi Hadits di atas.
Keterangan:
Hadits ini menunjukkan keutamaan shalat berjamaah melebihi shalat sendirian sebnayak 27 derajat. Shalat untuk kedua kalianya secara berjamaah lebih afdhal (jika pada shalat yang pertama belum berjamaah).

G.  Pendapat Para Ulama
Menurut Jumhur Ulama’, sholat berjama’ah hukumnya sunnah muakkad, sedangkan menurut Imam Ahmad Bin Hanbal, sholat berjama’ah hukumnya wajib. Rosulullah SAW selama hidupnya sebagai Rosul belum pernah meninggalkan sholat berjama’ah di masjid meskipun beliau dalam keadaan sakit. Rosululah SAW pernah memperingatkan dengan keras keharusan sholat berjama’ah di masjid, sebagai mana diuraikan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori Muslim berikut :
  وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَقَدهممت أن اَمُرَ بِحَطْبٍ فَيَحْتَطِبُ ثُمَّ اَمُرَ بِا لصَّلاَةِ فَيُؤَذِّنَ لَهَا ثُمَّ اَمُرَ رَجُلاً فَيَؤُمَّ النَّاسَ, ثُمَّ اُخَالِفَ اِلَى رَجُالٍ لاَيَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ فَأُحْرِقَ عَلَيْهِم بُيُوتَهُمْ – متفق عليه
“Demi jiwaku yang berada dalam kekuasaan-Nya, sungguh aku bertekad menyuruh mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku suruh seorang adzan untuk sholat dan seseorang untuk mengimami manusia, kemudian aku pergi kepada orang-orang yang tidak ikut sholat, kemudian aku bakar rumah mereka”
Pada suatu saat Rosulullah didatangi oleh salah satu sahabat yang dicintainya, yaitu Abdullah Bin Umi Maktum. Ia berkata kepada Rosulullah bahwa dirinya buta dan tidak ada yang menuntunnya ke masjid sehingga ia memohon kepada Nabi untuk memberinya keringanan untuk tidak melaksanakan sholat berjama’ah di masjid. Selanjutnya Rosulullah bertanya kepadanya:
هَلْ تَسْمَعُ النّدَاءَ بِالصَّلاَةِ ؟ قَالَ نَعَمْ. قَالَ : فَأَجِبْ..
Begitulah seruan Rosulullah kepada umatnya agar senantiasa menunaikan sholat berjama’ah di masjid sekalipun kepada sahabatnya yang tidak bisa melihat alias buta. Bagaimana dengan kita umatnya, yang diberikan kenikmatan yang sempurna. Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
لاَصَلاَةَ لِمَنْ جَارَ الْمَسْجِدَ اِلاَّ بِالْجَمَاعَة وَفِى رِوَايَة اِلاَّ فِى الْمَسْجِد – رواه احمد
“Tidak sempurna sholat seseorang yang bertetangga dengan masjid kecuali dengan berjama’ah. Dalam suatu riwayat, kecuali di masjid”.
Banyak keutamaan dan manfa’at yang bisa diperoleh ketika seseorang menunaikan sholat berjama’ah. Ada keutamaan yang diperoleh di dunia dan juga ada keutamaan atau manfaat yang bisa diperoleh nanti di akhirat. Diantara keutamaan atau manfaat dari sholat berjamaah yaitu Allah akan melipatgandakan pahala sholat berjama’ah sampai dua puluh tujuh derajat.
 قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم : صَلاَة الْجَمَاعَة اَفْضَلُ مِنَ صَلاَةِ الفَدِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَة — متفق عليه
“Sholat berjama’ah itu lebih utama dari sholat sendiri dengan dilipatkan sampai dua puluh tujuh derajat”
Dalam hadits ini dikatakan keutamaan shalat dengan berjamaah adalah 27 kali lebih utama daripada shalat sendirian, sedangkan hadits lain menyatakan 25 kali lebih utama. Banyak ulama memperbincangkan masalah ini dengan panjang lebar, yang sepertinya bertentangan. Seperti banyak tertulis didalam beberapa hadits. Berikut ini adalah beberapa penjelasan dari pendapat mengenai perbedaan tersebut : perbedaan antara 25 dan 27 derajat adalah karena perbedaan tingkat keikhlasan dalam diri seseorang. Dalam shalat sirri ( Zhuhur dan ashar) adalah 25 derajat, dan pada shalat jihri (Shubuh, Maghrib dan Isya) adalah 27 derajat, karena shalat Shubuh, Maghrib dan Isya terasa lebih berat. Pada shalat Shubuh dan Isya karena pengorbanannya sedikit lebih berat untuk pergi berjamaah akibat dingin dan gelap, maka pahalanya 27 derajat dibandingkan dengan shalat fardhu lainnya yang 25 derajat. Sebagian ahli tafsir menulis bahwa ini merupakan ganjaran Allah Swt. kepada umat Muhammad SAW.
Ada lagi penjelasan bahwa dalam hadits yang menerangkan pahala dua puluh lima itu bukan sebagai tambahan tetapi pelipatgandaan menjadi dua puluh lima kali. Sehingga hitungannya dapat menghasilkan 33.544.432 derajat. Betapa besar rahmat Allah Swt. yang telah memberikan pahala begitu banyak. Namun jika satu shalat saja ditinggalkan maka dosanya adalah satu huqub. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya. Maka tidak mustahil jika pahala shalat pun dapat mencapai jumlah sebanyak itu. Kemudian Rasulullah saw. menjelaskan mengenai hal itu agar kita mau memikirkan betapa pahal itu terus bertambah bagi seseorang yang telah berwudhu, kemudian pergi ke masjid dengan niat semata-mata hendak mendirikan shalat berjamaah, setiap langkahnya mendapatkan pahala dan menghapuskan satu dosa.
H.  Munasabah
Rosulullah menekankan bahwa sholat jama’ah dilaksanakan di masjid. Karena masjid didirikan bukan untuk bemegah-megahan, melainkan untuk diramaikan atau dimakmurkan. Allah berfirman dalam surat At-Taubah ayat 18 :

   إنَّمَا يَعْمُرً مَسَاجِدَ اللهِ مَنْ أمَنَ بِاللهِ وَاليَوْمِ الأخِرِ وَأقَامَ الصَّلاَةَ وَأَتَى الزَّكَوةَ وَلَمْ يَخْشَ إلاَّ اللهَ
“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta tetap mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan tidak takut selain kepada Allah.”
Menjauhkan diri dari sifat munafik. Karena di antara sifat orang munafik adalah bermalas-malasan dalam sholat. Hal ini tertera dalam surat An-Nisa’ ayat 142 :
إنَّ المُنَفِقِيْنَ يُخَدِعُوْنَ اللهَ وَهُوَ خَدِعُهُمْ وَإذَا قَامُوا إلىَ الصَّلاَةِ قَامُوْا كُسَالَى يُرَاءُوْنَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ إلاَّ قَلِيْلاً
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah. Dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk sholat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan sholat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar